Senin, 31 Maret 2008

MENYIKAPI FENOMENA BRAIN DRAIN SECARA POSITIF

Upaya Mengubah Brain Drain menjadi Brain Gain

I. PENDAHULUAN
Brain drain dapat didefinisikan sebagai perpindahan tenaga ahli (ilmuwan) ke tempat yang lebih baik secara ekonomi, kesempatan berkembang, maupun ketersediaan fasilitas pendukung. Dalam kerangka internasional, UNESCO pada tahun 1969 mendefinisikan istilah brain drain sebagai bentuk yang tidak biasa dari terjadinya pertukaran ilmuwan antarnegara yang dikarakterisasi oleh adanya keuntungan yang sangat tinggi untuk negara-negara maju. Laporan Bank Dunia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa hingga hari ini masih terjadi brain drain secara besar-besaran dari negara-negara berkembang, khususnya dari negara kecil dan terbelakang. Lebih lanjut, setidaknya saat ini terdapat sekitar 180 juta orang yang bertempat tinggal di luar negara asalnya (Ozden & Schiff, 2005).
Fenomena dan isitilah brain drain mulai populer pada sekitar tahun 1960-an dengan terjadinya migrasi para tenaga kerja terampil dari sejumlah negara miskin, khususnya India. Para pelaku brain drain tersebut merupakan orang-orang yang memiliki keterampilan profesional yang langka, seperti para dokter dan insinyur. Padahal mereka sebelumnya telah dilatih dan dibiayai untuk memperoleh pendidikan tinggi dan keterampilan tersebut dengan anggaran negara yang notabene merupakan hasil dari pajak.
Adalah mustahil untuk melarang emigrasi karena pertimbangan politis. Globalisasi telah memaksa terjadinya kebebasan arus barang, modal, dan tenaga kerja untuk bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain tanpa adanya hambatan yang berarti. Arus globalisasi ini melanda semua segi kehidupan. Salah satu fenomena yang sangat terlihat tentang brain drain adalah pindahnya ilmuwan dari satu wilayah ke wilayah lainnya, khususnya menuju wilayah yang lebih maju. Berdasarkan statistik yang dikeluarkan oleh pemerintah dan dikutip Times edisi September 2004, setidaknya lebih dari 85.000 warga Indonesia memutuskan untuk menempuh pendidikan di luar negeri setiap tahunnya.
Brain Drain adalah sebuah kemestian bagi negara miskin/ berkembang dan sudah merupakan fenomena global. Bukan hanya Indonesia yang mendapat dampak negatif dari brain drain, melainkan hampir seluruh negara miskin/ berkembang mengalami permasalahan serupa. Namun, berbeda dengan Indonesia, beberapa negara berkembang seperti Malaysia, India, bahkan Vietnam telah mampu mengubah fenomena brain drain menjadi sebuah fenomena yang bernilai posiif. Brain drain memang mempunyai dua sisi, positif dan negatif. Oleh karena itu, pada paper ini penulis berupaya untuk menampilkan fenomena dan dampak brain drain dari sisi positifnya. Dengan demikian, kita tetap dapat mengambil manfaat dari sesuatu hal yang memang tidak mungkin kita hindari.

II. MENYIKAPI FENOMENA BRAIN DRAIN SECARA POSITIF
2.1 Faktor Pendorong Brain Drain
Fenomena migrasinya tenaga terdidik dan terlatih tersebut biasa dikenal dengan istilah brain drain terjadi karena dua faktor penyebab, yaitu faktor penarik dan faktor pendorong. Pertama, faktor penarik adalah faktor yang datang dari wilayah tujuan, misalnya untuk memperoleh prospek ekonomi dan kehidupan yang lebih baik, fasilitas pendidikan, penelitian, dan teknologi yang lebih memadai, kesempatan memperoleh pengalaman bekerja yang luas, tradisi keilmuan dan budaya yang tinggi, dan sebagainya. Kedua, faktor pendorong, yaitu faktor yang datang dari daerah asal, misalnya karena rendahnya pendapatan dan fasilitas penelitian, tidak adanya kenyamanan dalam bekerja dan memperoleh kebebasan, keinginan untuk memperoleh kualifikasi dan pengakuan yang lebih tinggi, ekspektasi karir yang lebih baik, kondisi politik yang tidak menentu, diskriminasi dalam hal penentuan jabatan dan promosi, dan sebagainya.
Faktor penyebab penarik-pendorong ini terkadang juga dapat dibedakan menjadi faktor penyebab obyektif-subyektif. Penyebab secara obyektif adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kebijakan yang diberikan oleh negara asal maupun tujuan dan terkait erat dengan karakteristik negara tersebut, seperti misalnya lemahnya kebijakan terhadap tradisi keilmuan. Sedangkan penyebab secara subyektif biasanya terbatas pada motif-motif personal dari yang bersangkutan.


2.2 Dampak dari Brain Drain
Terjadinya brain drain bagi negara asal tentunya membawa implikasi negatif yang tidak sedikit, seperti kondisi di mana kurangnya tenaga terlatih dan terdidik dari suatu negara, serta terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi yang sulit untuk diprediksi. Selain itu, brain drain dapat juga membawa pengaruh rendahnya kesejahteraan terhadap lingkungan di mana para tenaga terdidik tersebut berasal.
Fenomena brain drain menunjukkan bahwa peluang di daerah lainsangat menjanjikan. Sebaliknya, banyak ilmuwan muda yang menganggap tidak ada lagi kesempatan untuk mengembangkan karier di daerah asal. Di satu zaman di mana kemajuan suatu daerah sangat tergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi, fenomena kaburnya para ilmuwan demikian dapat berakibat sangat fatal di belakang hari.
2.3 Menyikapi Brain Drain Secara Positif
Pengalaman bekerja dan melakukan penelitian di luar daerah sebenarnya sangat berguna bagi ilmuwan itu sendiri maupun daerah asalnya, asalkan sang ilmuwan kembali ke daerah asal setelah beberapa saat di luar. Masalah baru muncul manakala para ilmuwan lebih memilih terus tinggal dan mengembangkan ilmunya di luar daerah. Perpindahan ilmuwan dari satu wilayah ke wilayah lain sebenarnya juga tidak masalah asalkan berjalan secara seimbang, dalam arti bahwa jumlah ilmuwan yang keluar setara dengan jumlah ilmuwan yang masuk.
Indonesia, sebagai negara berkembang terbesar ketiga di dunia, bersama dengan Cina dan India yang mewakili 70% dari keseluruhan penduduk Asia, Indonesia diprediksi dapat semakin jauh tertinggal dalam hal pengembangan sumber daya manusia jika tidak segera menyadari sekaligus mempersiapkan strategi untuk mengatasi problematika brain drain.
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human Development Report 2005, Indonesia masih menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan, peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004.
Namun demikian, di sisi lain justru beberapa negara berkembang kini telah mampu memanfaatkan kondisi brain drain menjadi reversed brain drain untuk kemajuan negaranya, misalnya Cina dan India, dua negara Asia yang mempunyai konsentrasi brain drain sangat tinggi. Kondisi reversed brain drain yang terjadi sejak awal 1990-an tersebut, selain memacu produktivitas perekonomian negara asal, diyakini juga telah meninggalkan buah manis berupa jaringan keilmuan dan pemasaran yang kuat dan tersebar hampir di seluruh negara-negara maju yang pernah mereka huni sebelumnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, apabila para tenaga ahli dan terlatih kita yang berada di luar negeri belum mau atau setidaknya masih berpikir dua kali untuk kembali ke tanah air, ditambah dengan kondisi dalam negeri yang dapat kita katakan belum siap secara total ‘menyambut’ kehadiran para tenaga terdidik dari luar negeri, maka apa yang harus kita lakukan saat ini yaitu mempersiapkan segala sesuatunya guna menyongsong terjadinya reversed brain drain di Indonesia. Salah satunya – secara berbesar hati – yaitu dengan memetik pengalaman dan perjalanan berharga bangsa lain yang telah berhasil menaklukan dan memanfaatkan brain drain sebagai aset utama terjadinya brain gain.
2.4 Mengubah Brain Drain menjadi Brain Gain
Beberapa hal yang mendesak dilakukan oleh pemerintah untuk menghentikan dampak negatif dari brain drain diantaranya meningkatkan dana riset untuk Universitas dan lembaga penelitian, meningkatkan otonomi, daya saing serta atraktivitas Universitas.
Untuk meningkatkan daya saing dan atraktivitas Universitas, beberapa inovasi sebenarnya telah dilakukan diantaranya dengan membuka posisi Juniorprofessor. Jabatan ini dibuka untuk memberikan kesempatan kepada peneliti muda agar ia bisa secara dini melakukan penelitian mandiri.
Cara lain yang perlu ditempuh oleh pemerintah adalah membentuk Universitas-universitas Elit yang akan dipacu untuk dapat bersaing dengan universitas-universitas terbaik di dunia. Untuk itu, pemerintahan perlu menganggarkan dana yang memadai. Dengan dana ini, akan terbuka kesempatan luas untuk memacu penelitian dan memberikan daya tarik bagi ilmuwan-ilmuwan terbaik.
Selain meningkatkan penelitian dan daya saing, universitas-universitas di Indonesia juga harus berani melamar dan menggaet ilmuwan-ilmuwan terbaik di dunia sebagaimana dilakukan oleh universitas-universitas di luar negeri. Untuk itu tingginya gaji dan peningkatan dana penelitian saja tidaklah cukup, tetapi harus diimbangi dengan pemberian jaminan sosial dan kenyamanan hidup tidak hanya bagi sang peneliti tetapi juga bagi keluarganya.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terciptanya pola reversed brain drain, antara lain pertama, adanya tansisi kebijakan pemerintah secara gradual sehingga dapat menciptakan berbagai lapangan kerja baru di berbagai bidang. Selain itu, dominasi campur tangan pemerintah atas pengelolaan institusi-institusi swasta perlu dikurangi.
Kedua, penguatan kondisi perekonomian di dalam negeri. Kondisi inilah yang akan dimanfaatkan oleh para profesional pelaku brain drain. Mereka berduyun-duyun kembali ke negaranya sebagai fasilitator antara tenaga ahli yang berada di dalam negeri dengan jaringan pasar internasional.
Ketiga, pemeliharaan jaringan diaspora, baik diaspora yang bersifat keilmuan maupun diaspora yang bersifat komunitas kemasyarakatan. Dari sinilah mereka memperoleh sumber potensi yang sangat besar dalam menjalankan kerjasama secara efektif dan menguntungkan kedua belah pihak antara negara berkembang dengan berbagai negara industri maju lainnya.
Keuntungan dari terjadinya reversed brain drain tersebut bukan merupakan sesuatu yang instan. India saja harus menunggu sekitar 15 tahun untuk merasakan keuntungan dari reversed brain drain. industri teknologi India mulai berkembang menjadi teknologi kualitas tinggi dengan pertumbuhan dari US$ 150 juta menjadi US$ 3,9 miliar dalam hal penjualan. India saat ini juga telah mengekspor produksi piranti lunak ke hampir 100 negara di dunia, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa.
Meningkatnya ikatan rasa emosional dan budaya terhadap tanah air menjadi modal tambahan meluasnya kesempatan bagi para profesional. Begitu pula dengan kesempatan bekerja di dalam negeri yang tidak kalah bersaing dengan perusahan-perusahaan terkenal lainnya di luar negeri.
Penyikapan secara positif atas fenomena brain drain bukan saja akan menciptakan reversed brain drain, akan tetapi akan diikuti pula dengan terciptanya brain gain dari negara-negara lainnya. Meledaknya perekonomian suatu negara akan memicu migrasi tenaga ahli dari negara lain. Sebagai contoh, hal demikian terjadi di India. Survey yang dilakukan di Inggris pada tahun 2005 menyimpulkan bahwa para lulusan Inggris tengah mempersiapkan dirinya untuk mengisi 16.000 lowongan pekerjaan pada Indian call-center di tahun 2009 mendatang.
Fenomena reversed brain drain dapat menjadi elemen awal terciptanya brain gain. Selain itu, komunitas dari diaspora harus dikondisikan untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan di dalam negeri. Diaspora juga dapat menjadi komunitas yang berharga dalam memberikan kontribusi terhadap meningkatnya hubungan bilateral, sehingga hal tersebut menghasilkan keuntungan ganda bagi negaranya. Dengan mengoptimalkan jaringan diaspora terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam negeri, fenomena mengenai brain drain dan migrasinya tenaga ahli telah berubah menjadi mantra brain gain. Oleh karena itu, diaspora semacam ini patut menjadi perhatian khusus bagi kita semua, terutama mengenai kuatnya keterikatan mereka dengan keluarga dan negara asalnya.
Tantangan untuk mengubah brain drain menjadi brain gain bagi Indonesia, setidaknya dapat dihadapi dengan beberapa strategi sebagai berikut:
a. Mengimplentasikan rancang-bangun pendidikan yang efektif dan measurable melalui program nasional dan pelatihan luar negeri yang lebih terarah dan terencana. Pemenuhan target program pendidikan dasar bagi seluruh warga negara Indonesia, investasi pada infrastruktur untuk penelitian, pengembangan dan penciptaan kondisi yang dapat menunjang tumbuhnya sektor publik maupun swasta dalam lingkup hasil penelitian, serta pengembangan teknologi dan inovasi merupakan beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam kondisi sekarang ini. Oleh sebab itu, guna mewujudkan langkah-langkah strategis di atas, kerjasama antara pemerintah dengan sektor swasta harus pula dijalankan secara optimal.
b. Membangun kepemimpinan nasional yang tercerahkan terhadap komunitas ilmu pengetahuan nasional yang dapat menyokong terciptanya pengembangan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi secara internal maupun eksternal. Oleh karena itu, seluruh ahli ilmu pengetahuan, politisi, dan penentu kebijakan di Indonesia, termasuk badan-badan internasional lainnya, harus memberikan apresiasi lebih terhadap terjadinya sinergitas kreasi ilmu pengetahuan sehingga kebijakan dan sistem pendidikan dapat dirancang untuk menciptakan inovasi baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.
c. Dalam jangka pendek perlu diciptakan sistem tranfer ilmu para pelaku brain drain seperti melalui kuliah khusus, mendatangi seminar nasional, dan berdiskusi secara langsung, serta menjadi penghubung antara ilmuwan lokal dengan ilmuwan internasional. Sedangkan untuk tahapan jangka panjang, pemerintah sudah waktunya membentuk suatu program atau badan khusus untuk mengantisipasi negative snowball effect dari brain drain, sekaligus menerapkan strategi penciptaan reversed brain drain sebagaimana telah dilakukan oleh negara-negara lain.
Pencapaian hal di atas tentunya tidak mudah dan memerlukan waktu, sebagaimana investasi SDM India di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta kapabilitas R&D yang dimulai sejak tahun 1950-an. Begitu pula dengan Cina yang telah meluncurkan proyek pengembangan 100 Universitas menuju institusi pendidikan berkelas dunia yang bukan saja membutuhkan waktu pelatihan pendidikan tinggi yang cukup lama, tetapi juga sulitnya menarik para ilmuwan untuk terus berkarir pada dunia akademis. Namun demikian, tentunya harapan masih tetap harus digantungkan sampai kapanpun jua. Sebagai generasi penerus sudah menjadi kewajiban kita untuk memikirkan permasalahan ini sejak dini, dengan harapan kelak anak-cucu kita dapat berkreasi dan memperoleh pengetahuan yang tinggi. Sehingga, mereka akan mampu bersaing dengan negara-negara lain, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri sekalipun

III. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Brain drain atau perpindahan tenaga ahli adalah sebuah kemestian sekaligus merupakan fenomena global. Sebuah negara tidak mungkin melakukan pelarangan atas terjadinya fenomena brain drain karena brain drain merupakan dampak langsung dari globaisasi.
Hal yang harus dilakukan adalah penyikapan, bukan pelarangan. Brain drain akan bernilai positif jika kita cerdas menyikapi. Namun hal yang perlu dipahami adalah keuntungan atas penyikapan fenomena brain drain bukan merupakan sesuatu yang instan. Jadi, penyikapan atas fenomena brain drain membutuhkan kematangan, gradualitas, dan ketepatan perencanaan.
Beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka meraih sisi positif dari fenomena brain drain adalah dengan cara mengimplentasikan desain sistem pendidikan yang efektif dan measurable, membangun kepemimpinan nasional yang tercerahkan, menciptakan pola transfer ilmu para pelaku brain drain. Untuk tahapan jangka panjang, pemerintah perlu segera membentuk suatu program atau badan khusus untuk mengantisipasi negative snowball effect dari brain drain.

Tidak ada komentar: